[Review Film] Calon Bini : Dilema Gadis Desa Mengejar Impian dan Cinta hingga ke Ibukota

 

Review film calon bini

Review Film Calon Bini : Dilema Gadis Desa Mengejar Impian dan Cinta hingga ke Ibukota

 

Review Film Calon Bini

Durasi film : 1 jam 35 menit

Tayang perdana 14 Februari 2019

Pemain film Calon Bini :

Rizky Nazar, Michelle Ziudith, Dian Sidik, Ramzi, Slamet Rahardjo, Minati Atmanegara, Cut Mini Teo, Niniek L. Karim, Butet Kertaredjasa, Maya Wulan, Yuniza Icha, Eko Mulyadi.

Rating : 8/10 bintang

Bisa ditonton di aplikasi VIU

 

 

Sinopsis Film Calon Bini :


Didorong oleh ambisi dan keserakahannya, Paklik Agung(Ramzi) memaksa Ningsih(Michelle Ziudith) menikah dengan Sapto(Dian Sidik). Ningsih sendiri tidak memperdulikan hal itu. Ia khawatir pendidikannya terancam akan berakhir karena orang tuanya tidak mampu.


Saat Ningsih diputuskan untuk menikah dengan Sapto, Ningsih kabur ke Jakarta. Dia juga menemukan dukungan moral dan malah jatuh cinta dengan orang yang dia temui di internet dengan nama panggilan Jejak Langkah.


Di Jakarta, Ningsih bekerja untuk keluarga Prawira(Slamet Rahardjo) dan Andini(Minati Atmanegara). Keluarga ini tidak akur. Satu-satunya yang membuat Ningsih betah adalah kehadiran Satria Bagus(Rizky Nazar). Sayangnya, Satria harus melanjutkan studinya di New York.


Bagaimana kelanjutan cerita Ningsih? Akankah bertemu dengan sosok asli di balik nama Jejak Langkah? Atakah sesuatu terjadi antara dia dan Satria Bagus?

 

Review Film Calon Bini :


Hallo man teman, gimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya. Nah, kali ini saya akan bahas lagi film Indonesia favorit yang dibintangi oleh Michelle Ziudith dan Rizky Nazar. Tema film Calon Bini berkisah tentang dilema anak desa yang harus memilih antara menikah dan kuliah.


Tema film ini mungkin nggak gitu menarik ya, karena dianggap wis biasa. Tapi menurut saya, film ini justru menampilkan suatu fenomena masyarakat desa di Pulau Jawa terutama Yogyakarta dan Jawa Tengah, di mana banyak anak gadis yang akhirnya lebih memilih menikah muda dan meninggalkan impian untuk mengenyam bangku kuliah.


Pendidikan para gadis desa pun berhenti di sekolah SMA/SMK saja. Lalu, setelahnya menjadi pembantu rumah tangga. Persis yang dialami oleh Ningsih yang akhirnya harus memilih apakah akan dijodohkan atau bekerja menjadi pembantu. Kuliah tak pernah ada dalam list impian yang bisa diwujudkan. Ya, kuliah seperti jauh sekali dari bayangan anak gadis desa yang sangat ingin melanjutkan pendidikannya.


Baca juga : Review Film Mekah I'm Coming
 


Saya pikir, privilege pendidikan memang hanya berlaku bagi orang pintar dan orang kaya saja. 


Orang kaya bisa melanjutkan kuliahnya hingga jenjang yang lebih tinggi, orang pintar jika ia mendapatkan akses pendidikan maka ia akan menjadi pendobrak pintu kemiskinan yang sangat berlapis-lapis itu.


Jadi, menjadi seorang yang berpendidikan ternyata bukanlah sebuah hal yang bisa dengan mudah diwujudkan, apalagi jika memiliki background keluarga yang tak mampu atau tergolong miskin.


Ningsih hanya salah satu gadis yang beruntung yang kemudian menjadi pembantu di rumah keluarga orang kaya. Ningsih yang memang memiliki kecerdasan rata-rata juga mudah bergaul dengan siapa saja.

 

Rizky Nazar dan Michelle Ziudith

Sebelum pergi dari rumah, menuju Jakarta, Ningsih harus berdebat dengan Pakliknya yang memaksakan Ningsih untuk menerima lamaran dari Sapto, anak pak kepala desa. Namun, Ningsih bilang bahwa ia ingin memiliki impian yang tinggi yaitu berkuliah hingga S2. Sebuah cita-cita yang segera ditentang oleh Pakliknya

 

Paklik menganggap Ningsih dan orang tuanya tak tahu diri karena seharusnya ia memanfaatkan kecantikannya untuk membuat anak orang kaya seperti Sapto, anak pak kepala desa jatuh cinta dan menikahinya. Tapi sayangnya, Ningsih lebih memilih mengejar impiannya untuk bekerja dan jika sudah memiliki uang yang cukup akan melanjutkan kuliah.

 

Paklik Agung pun mengejek impian Ningsih untuk bercita-cita setinggi langit. Baginya, lebih baik Ningsih menerima nasib sebagai orang miskin yang dinikahkan dengan orang kaya agar hidupnya lebih baik.

 

“Sudah tidak jamannya wanita tidak tercapai cita-citanya. Cita-cita itu harus tinggi tembus langit.”

“Trus, jatuh? Sakit gitu?”

“Tidak mungkin jatuh, Paman.”

“Orang bercita-cita itu punya semangat naik terus.”

“Mimpi kamu, Sih.”

“Paman tidak pernah punya cita-cita, kan?”

 

Ningsih ke Jakarta untuk mengejar impiannya menjadi perempuan yang lebih mandiri. Ia ingin kuliah dan bisa bekerja hingga mapan. Ia berharap dengan uang hasil kerja kerasnya, ia bisa mengangkat derajat keluarganya dan membahagiakan orang tuanya. Namun, Paklik (paman) justru meminta ia menikah dengan Sapto, anak kepala desa.


Sejak kelulusannya, Ningsih sudah dicecar oleh Sapto dengan pertanyaan “Mau nggak jadi istriku?” yang tentu saja dijawab Ningsih dengan penolakan demi penolakan.


Baca juga : Review Film Surga yang Tak Dirindukan 2


Saat itulah Ningsih pun curhat di instagramnya. Postingan itu dikomentari oleh beberapa temannya, salah satunya oleh lelaki yang menggunakan nama “Jejak Langkah”. Lelaki yang tak pernah diketahui seperti apa wujudnya, bahkan tak pernah menunjukkan foto wajah. Hanya sebuah sepatu yang diposting di instagram yang membuat Ningsih berpikir laki-laki ini memang benar-benar ada di dunia ini. Lelaki inilah yang menyemangati Ningsih untuk mengejar impiannya.

 

“Karena impian memang untuk dikejar.”

“Meskipun kakiku susah untuk diajak lari?”

“Jangan pakai kaki, pakai sayap.”

 

Tak disangka, saat ke Jakarta, Ningsih diterima oleh keluarga Prawira. Keluarga yang sangat kaya dan terpandang. Namun, di sana ada Oma yang kesepian karena ditinggal cucunya ke New York. Ningsih yang membuat Oma menjadi lebih terbuka lagi dengan orang lain dan mau menjadi teman ceritanya.

Film calon bini


Oma yang kesepian sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Namun, ia tetap merasa kesepian, hingga Ningsih pun berusaha menghibur Oma karena ia tidak pernah keluar kamarnya.

 

“Aku kadang-kadang ketemu ama temanku itu untuk ngusir rasa sepi. Tapi ternyata... sepi itu banyak bentuknya. Dan tidak semuanya bisa hilang dalam keramaian. Makin ke sini teman-temanku makin banyak yang pergi. Aku... Makin sepi karena makin sedikit. Sampai nanti gilirannya aku yang pergi.”

“Bukannya kita semua lagi nunggu giliran itu ya, Oma? Nggak ada hubungannya dengan berapapun usia kita.”

“Jadi, kamu itu pernah kesepian nggak?”

“Sering Oma.”

 

Saat Ningsih bilang bahwa ia juga sering kesepian, Oma malah meledek Ningsih. Katanya, anak muda kok kesepian. Padahal harusnya yang seumur Oma yang kesepian. Lalu obrolan pun bergulir dengan lebih santai.

 

“Udah tua kok masih aja kesepian.”

“Eh, yang mestinya kesepian itu ya orang-orang yang seumur aku, yang sudah setua aku.”

“Karena udah capek pura-pura tho, Oma?”

“Kalo kita yang masih muda... Masih punya banyak energi untuk pura-pura. Pura-pura bahagia. Pura-pura ndak kesepian. Pura-pura hidupnya baik-baik aja. Tapi padahal Oma... Haduuhh... “

 

Di sinilah Oma mulai dekat dengan Ningsih. Film Calon Bini ini memang tak hanya menampilkan sisi lain gadis desa di Yogyakarta yang mengejar cita-citanya hingga ke Jakarta, namun juga menampilkan sisi lain orang tua yang sudah lanjut usia.

Sebagian besar orang tua sudah merasa jenuh dengan kehidupan sehingga mereka sering membuat ulah bahkan hal-hal yang di luar nalar. Istilahnya yaa... caper. Mereka hanya cari perhatian agar bisa mendapatkan atensi dari orang lain lagi.

Kesepian telah mengambil senyum dari wajah Oma. Oma lebih senang berkumpul dengan teman-teman seusianya, namun hal itu juga membuat ia tetap merasakan kesepian yang sangat berat dirasakan.

 

“Siapapun itu... Setiap orang pasti punya sayap. Mereka cuma butuh alasan. Untuk mengembangkan sayap mereka dan terbang.”

 

Di sinilah cerita makin seru karena ternyata Oma sangat menyukai Ningsih dan menganggap gadis itu layak untuk jadi istri Satria, cucu kesayangannya yang sedang kuliah di New York. Lalu, bagaimana Satria bisa berkenalan dengan Ningsih? Apakah perjodohan yang dilakukan Oma berhasil?

 

“Ningsih perempuan yang tepat untuk Satria.”

“ Aku lebih kenal Satria dibanding kalian mengenalnya.”

 

Menurut saya :

 

Film Indonesia berjudul Calon Bini ini memang mengangkat isu kesenjangan sosial yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta. Bagi perempuan Jawa yang lebih banyak disuruh berbakti pada orang tua, mereka lebih banyak memilih untuk menikah muda dan melupakan cita-citanya. Jakarta terasa semakin jauh dari jangkauan, pun sama halnya dengan impian untuk kuliah hingga S2.

 

Ningsih adalah potret anak remaja yang memilih untuk mengejar cita-citanya untuk kerja dan kuliah. Namun, di luar sana ada Ningsih-ningsih lainnya yang masih berjuang untuk pendidikan mereka. Mereka tak seberuntung Ningsih, harus bergelut kembali dengan kemiskinan yang makin merajai. Membuat mereka  tak bisa berjuang menggapai impian.

 

Kemiskinan struktural yang terjadi di kalangan keluarga miskin seperti yang dialami Ningsih jelas sebuah fenomena sosial yang sudah lama terjadi, di desa-desa terpencil bahkan yang daerah yang dekat dengan Jakarta sekalipun. Kemiskinan mampu merenggut paksa impian untuk dibuang kembali ke tong sampah. Ya, sama seperti yang diucapkan paklik. Cita-cita yang ketinggian bikin seseorang bisa jatuh.

 

Yang bikin saya sedih pas nonton scene Bapak dan Ibu Ningsih yang ngobrol tentang sawah mereka. Bapak mengira sawah yang mereka kerjakan adalah sawah miliknya. Jadi dia bilang akan menjual sawah tersebut. Lalu, ibu Ningsih mengatakan bahwa sawah itu hanyalah sawah garapan, alias pinjam saja. Tidak ada hak kepemilikan.


Baca juga : Inilah 5 Rekomendasi Film Remaja Indonesia Favorit 

 

Kemiskinan struktural di kalangan masyarakat Jawa memang sangat kompleks. Sebagai petani, bapak Ningsih jelas telah bekerja keras seumur hidupnya, namun untuk memiliki sawahnya sendiri saja, ia tak punya uang untuk membeli. Jadi, ia hanya menjadi petani yang mengerjakan sawah milik orang lain. Istilahnya, hanya sawah sewaan.

 

Dampak kemiskinan struktural ini jelas berat, karena anak desa seperti Ningsih harus berhadapan dengan tembok besar bernama uang. Impian dan harapannya akan langsung berhenti begitu saja saat harus melihat kenyataan bahwa ortunya memang sangat miskin hingga tidak bisa membiayai kuliah Ningsih.

 

Potret ketimpangan sosial ini memang sudah lama terjadi, tapi sangat jarang dijadikan bahasan di film. Apalagi tema mengejar cita-cita anak desa yang memang tak memiliki privilege apapun. Ya... selain kecantikan.

 

Ya, Ningsih memang cantik. Itu modal utamanya untuk membuat seseorang jatuh cinta. Dan ternyata yang jatuh cinta sama dia adalah orang kaya raya keturunan terpandang.

 

Privilege Ningsih adalah kecantikan, sesuatu yang bisa membantunya keluar dari kemiskinan struktural ini.

 

Yang bikin saya sedih pas adegan Ningsih bareng keluarganya menolak lamaran Satria. Jelas-jelas mereka berbeda kasta atau tak sekufu. Gimana bisa bersatu?


Perbedaan strata sosial antara si kaya dan si miskin jelas menampilkan wujud yang paling nyata, itu tampak dalam scene saat keluarga Ningsih datang berbondong-bondong ke rumah majikan Ningsih dan mengira itu rumahnya. 


Lalu, banyak kejadian-kejadian super ajaib yang bikin pak Prawira menganggap Ningsih hanya bikin malu.


Baca juga : Review Film Belok Kanan Barcelona

 

Ya, bagaimana pun Ningsih memang berbeda strata sosial. Ini jelas-jelas jurang pemisah yang sangat tak mudah ditaklukkan. 


Jadi, kalaupun endingnya akhirnya Ningsih bisa kuliah dan menikah dengan Satria, ya anggap saja Ningsih adalah kisah cinderella versi Jawa. Too good to be true. Terlalu banyak keajaiban yang terjadi. :D

 

Kejauhan ya mikirnya? Ya, memang gitu... gimana lagi? Hahaha


Ningsih memang berbeda strata sosial. Inilah yang bikin dia galau nerima lamaran Satria. Sampai dia bilang...

 

“Sayap saya sudah ndak bisa diobati. Dan sayapmu, mas... Ndak akan pernah pantas untuk saya.”

 

Tapi yang bikin saya salut ya pas scene ini. Waktu Satria datang tepat di saat Sapto akan melamar Ningsih. Ini bikin... gimana ya? Sebenarnya dalam Islam juga nggak boleh ada dua lamaran dalam satu waktu. 


Tapi di kasusnya Ningsih kan dia mau nikah karena nggak ada pilihan lain selain berusaha membahagiakan orang tuanya, meskipun harus mengorbankan impiannya untuk kuliah.


Tapi Satria jadi mirip pangeran berkuda putih yang datang di saat yang tepat. Dia bawa sesuatu yang mengingatkan Ningsih dengan impiannya untuk kuliah yaitu sepatu berlambang sayap yang pernah dilihat Ningsih di instagram Jejak Langkah. See? Too good to be true banget kaaan? Hehehe

 

“Ini bukan cuma sepatu. Tapi ini sayap.”

“... dan aku janji itu akan cocok di punggungmu.”

 

Yang bikin film Calon Bini ini sangat memorable tentu saja kehadiran Dian Sidik yang jadi tokoh Sapto. Serius, dia tuh kocaknya natural banget. Lebay tapi bucin. Wkwk. 


Jujur, waktu saya nonton film Calon Bini ini saya nggak ada ekspektasi apa-apa. Tapi lihat tokoh Sapto ini antara sedih sama kesel juga ya. Dia tuh bucinnya parah banget sih. Sampe foto-foto Ningsih dia ambil, fotonya dipajang dan dipandangi setiap hari. Bahkan dia merengek ke bapaknya buat bantuin ngurus pernikahannya dengan Ningsih. Plus ngasih DP uang juga ke Paklik Agung.

 

Well ya, Sapto adalah sebucin-bucinnya lelaki yang mengalami kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tragisnya nggak kira-kira, karena endingnya beneran bikin miris. Yaaa... kalau memang endingnya separah itu beneran sih. Sedih banget. Apalagi Saptonya jadi edan. Sapto, laki-laki yang mengejar Ningsih sangat terobsesi dengan gadis desa itu hingga jadi gila beneran. Huwaaa

 

Banyak dialog yang iconic di film Calon Bini ini, bikin film ini jadi lebih punya makna yang berbeda dibanding film sejenis. Meskipun pengambilan gambarnya khas sinetron, tapi menurut saya acting para pemainnya sangat menjiwai dan bikin saya mengacungkan jempol. Mantep banget lah. Apalagi Michelle Ziudith sampai harus belajar bahasa Jawa untuk bisa memerankan Ningsih. Karena film Calon Bini ini memang menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

 

So, buat kamu yang penasaran detail film Calon Bini gimana, tonton aja ya di Aplikasi VIU.

 

See you next post! ;)

Komentar

Postingan Populer