Menelusuri Sejarah Pakaian di Jawa Masa Penjajahan Belanda

 

Penjajahan Belanda sudah lama terjadi di Indonesia, hingga akhirnya Indonesia merdeka. Di masa penjajahan tersebut, budaya berpakaian laki-laki dan perempuan Jawa atau Pribumi pun mencirikan sesuatu yang membedakan strata sosial pemakainya. 


Menelusuri Sejarah Pakaian di Jawa Masa Penjajahan Belanda


Saat ini, budaya Jawa sudah mulai jarang dilirik oleh anak muda. Padahal budaya Jawa juga tidak kalah bagusnya dengan budaya negara lainnya. 


Jika kita menelusuri sejarah pakaian di jaman penjajahan, banyak yang bisa kita lihat. Salah satunya adalah perbedaan cara berpakaian laki-laki dan perempuan, juga perbedaan penggunaan bahan pakaian yang menunjukkan dari mana strata sosial mereka berasal. 


Sebagian besar orang Jawa masuk ke dalam golongan pribumi alias orang biasa, sedangkan kaum priyayi memilih untuk tinggal dalam keraton dan rumah gedong mereka. 


Nah... Itu sebabnya, saat mereka keluar rumah tampak jelas perbedaan status sosial tersebut dari pemilihan bahan pakaian dan cara mereka berdandan. 


Mari simak apa saja perbedaaanya ya! 


❤️❤️❤️

3 Jenis Pakaian di Jawa Masa Penjajahan Belanda:


1. Pakaian Adat yang Dipakai Laki-laki Jawa Zaman Penjajahan


Di zaman penjajahan dulu, laki-laki dan perempuan Jawa masih memperhatikan pakaian yang mereka kenakan karena akan mempengaruhi pendapat orang tentang citra diri dan kedudukan mereka di masyarakat. 


Dalam budaya Jawa, laki-laki menggunakan kain panjang atau sarung,  batik untuk kelas menengah ke atas dan lurik untuk kelas menengah ke bawah. 


Sebagai busana atasan, laki-laki menggunakan pakaian yang disebut baju. Yang panjangnya lebih pendek dibanding kebaya perempuan. 


Laki-laki jawa  yang berstatus ningrat juga menggunakan pakaian adat bernama dhodotan dan kuluk(topi laki-laki). 


Para lelaki Jawa yang berada di strata sosial yang tinggi juga sering mengenakan ukup dan epek timang sebagai ikat pinggang dan tempat menyelipkan keris.


Untuk pakaian modern, mereka menggunakan celana, peci, dan celana monyet untuk anak-anak. 


Baju pernikahan  pegantin adat khas jawa

2. Baju Kebaya Perempuan Jawa Tempo Dulu


Pakaian yang dipakai perempuan Jawa umumnya menggunakan kebaya yang disertai dengan selendang, kemben dan berbagai perhiasan. 


Kata kebaya dipinjam dari kata Portugis Cabaia yang berarti semacam kain sutra. Sedangkan, kata Cabaia sendiri berasal dari  kata bahasa Arab ; qaba yang artinya kain. 


Dhodhot adalah kain kemben yang panjang dan lebar yang dipakaikan saat memakai busana basahan untuk pernikahan dan acara penting lainnya.


Sedangkan kain kemben untuk perempuan berfungsi untuk menutupi dada dan memiliki warna yang sama dengan kain kemben untuk pasangannya.


Ada juga selendang yang digunakan perempuan jawa. Selendang adalah kain berukuran kira-kira 150 x 50 cm yang digunakan oleh kalangan kelas menengah ke bawah sebagai aksesoris dan untuk membawa barang.


Dalam selendang, diselipkan uang dan barang karena umumnya mereka tidak membawa tas.


Selain itu, uang juga dapat disimpan di kantong kebaya oleh perempuan, karena zaman dulu belum banyak orang pribumi yang menggunakan tas untuk bepergian.


Untuk perempuan Jawa, mereka mengenakan pakaian dengan kain panjang juga, seperti lurik dan batik, namun hanya untuk busana bagian bawah. 


3. Ikat Kepala Laki-laki khas Jawa untuk Menandakan Strata Sosial Pemiliknya


Laki-laki Jawa dulu selalu mengunakan ikat kepala sejak masih muda.  Tujuan penggunaan penutup kepala untuk laki-laki pribumi asli Jawa bermakna sebagai pelindung jiwa. 


Sedangkan perempuan tidak memakai ikat kepala. Konon, ikat kepala juga menunjukkan strata sosial pemakaianya. 


Nah, sudah tahu kan apa saja perbedaannya? Semoga tulisan ini bermanfaat ya! 


❤️❤️❤️


Sumber : buku Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe karya Olivier Johannes Raap.



Komentar

Postingan Populer