Inner Child - Lubang di Dalam Hati

Mata saya basah malam ini, rasanya nggak tahan juga buat nangis. Dan air mata pun tumpah perlahan. Ini bukan pertama kalinya saya merasakan aura negatif di rumah. Bukan hanya saya yang kena, tapi juga ibu. Kadang aura bapak rasanya suram. Suka marah-marah bahkan untuk sesuatu yang sepele seperti tak menemukan handuk atau barang lainnya, atau tidak cepat membuka pintu.


Saya tahu jika hal ini terus terjadi, bisa saja saya juga akan tertular auranya. Mudah marah karena sesuatu hanya atas dasar kurang nyaman. Sampai saat ini saya terus bertanya-tanya. Apa orang yang akan saya nikahi nanti(entah kapan) akan punya rasa sabar yang tinggi? Bukan tipe pemarah seperti bapak? Bagaimana cara saya bisa tahu sifat seseorang sedangkan saya belum tentu paham bagaimana karakternya?

Saya jadi ingat seseorang yang dulu pernah dekat. Dia selalu bilang, kalau sedih, jangan ditahan. Nangis aja. Saya, entah sejak kapan seringkali menahan rasa sedih, marah dan jengkel untuk jangka waktu yang lama. Biasanya berubah jadi penyakit mulai dari asma hingga sakit kepala. Saya menganggap bahwa semuanya akan sembuh seperti semula, tapi yang ada sebenarnya, saya menyimpan bara di hati. Bara yang jika disiram sesuatu yang panas membakar akan mudah meluap. Persis seperti tungku perapian.

Saya tahu istilah inner child dari sebuah artikel yang mengatakan bahwa jika seorang anak tumbuh dalam didikan yang salah, kelak ia belum tentu bisa memaafkan saat ia dewasa. Perilakunya bisa saja mempengaruhi pola didikannya kelak pada anaknya sendiri.  Jika saya belum sembuh sepenuhnya, belum berdamai dengan masa lalu, maka luapan emosi yang saya rasakan di masa kecil akan terasa hingga saat saya mengasuh anak sendiri. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika itu terjadi.




Seseorang pernah mengatakan apa yang saya lakukan tidak perlu terlalu memikirkan apa pendapat bapak. Dulu saya sempat memendam perasaan marah dan kesal hingga akhirnya saat seseorang tersebut bicara pada saya miri seperti psikoterapi. Rasanya hati saya langsung sakit. Saya berteriak hingga menangis histeris.

Saya tahu itu luapan dari hati yang tertimbun bertahun-tahun lamanya. Saya berusaha memaafkan masa lalu saya, tapi sungguh itu sulit. Sesulit mengucapkan maaf, karena bapak tak pernah mengatakan kalimat itu di hadapan anaknya saat ia selesai membentak atau berteriak. Itu sebabnya sampai saat ini saya kesulitan untuk berbicara dengan suara yang lebih tinggi. Rasanya gaung suara kencang terdengar di telinga padahal saya belum mengucapkannya.

Terapis saya itu bilang bahwa saya harus terus membaca al ikhlas, an naas, al falaq sebelum tidur hingga saya merasa tubuh saya lebih nyaman. Mungkin itu sebabnya bertahun-tahun hingga kini saya masih sering merasakan insomnia. Sulit tidur hingga hanya bisa tidur dalam jangka waktu yang singkat. Itu pun sering terjaga tiba-tiba.

Saya tahu bahwa memaafkan adalah pangkal dari hati yang lebih tenang, tapi entah kenapa kadang saat mendengar teriakannnya lagi saya merasa sedang berada di dunia antah berantah. Saya ingin keluar tapi tidak bisa. Hingga akhirnya sejak remaja sama membangun tembok yang tinggi dan jauh dari realita. Saya membangun dunia yang hanya saya miliki sendiri lewat tulisan. 

Saya tidak mudah meluapkan emosi, tapi kadang saya menangis tersedu ketika teringat lagi hal-hal yang menyakitkan. Saya banyak menulis untuk menetralkan hati agar terasa lebih damai. Bagaimana pun saya butuh bahagia, kan? Bagaimana bisa bahagia jika saya belum juga bisa sembuh dari luka masa lalu?

Tuhan, saya ingin bertanya, bolehkah saya meminta? Tolong berikan jodoh pada saya yang paham bahwa saya perlu menyembuhkan luka masa lalu, inner child saya dan lubang di dalam hati. Hingga akhirnya saya yakin bahwa dia orang yang tepat untuk menemani saya menghabiskan sisa waktu di dunia dengan bahagia bersama. Tidak dengan saling menyakiti.



Komentar

Posting Komentar

Silahkan berkomentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. Salam kenal. ^_^

Postingan Populer