Resensi Buku Emotional Intelligence



"Siapa pun bisa marah-marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik-bukanlah hal mudah."


(Aristoteles, The Nicomachean Ethics)


💜💜💜


Emotional Intelligence berpengaruh pada banyak hal dalam hidup manusia. 


❓️Apakah EI bisa dipelajari dan dilatih? Jawabannya, bisa. 


❎️ Sayangnya ini butuh waktu yang lama. 😯


Manusia belajar empati sejak masih bayi. Bayi menangis karena merespon emosi yang dirasakan sekelilingnya. Misalnya ada anak bayi yang bermain dengan temannya, dia akan ikut menangis ketika bayi lain menangis


Ketika ibu mengalami stress atau depresi, hal ini akan membuat anak yang diasuhnya juga mudah mengalami stress. Anak menangkap emosi dan merespon perasaan tersebut. 


"Bayi pun menangkap suasana hati: bayi umur 3 bulan dengan ibu yang mengalami depresi, misalnya, mencerminkan suasana hati ibunya ketika sedang bermain, memperlihatkan lebih banyak perasaan marah dan sedih, dan kurang spontan dalam menunjukkan keingintahuan dan minat, bila dibandingkan dengan bayi yang memiliki Ibu yang tidak mengalami depresi." (Hlm. 139)


Emotional Intellegence juga berpengaruh pada hubungan antar manusia. 


Jika kita terlatih memiliki empati, kita mudah terhubung dengan orang lain secara emosional. 


Keterampilan mengelola emosi, baik dalam pengendalian diri, menahan marah, dan melepas stress juga berpengaruh pada bagaimana memelihara hubungan. 


Itulah sebabnya, meski ada anak yang sangat pintar sekalipun, tapi kesulitan merespon emosi dengan baik, akan membuat ia kesulitan berinteraksi dalam dunia sosial dan akan mengundang masalah. 


"Sesungguhnya tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang dengan otak paling encer pun dapat gagal dalam membina hubungan mereka karena penampilan mereka angkuh, mengganggu, atau tak berperasaan. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang menjalin hubungan, menggerakkan, dan mengilhami orang-orang lain membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman." (Hlm. 156)


Kita dididik untuk menggunakan tata krama dalam hubungan sosial. Misalnya, alih-alih mengutarakan pendapat secara frontal, lebih baik kita menyimpan perasaan, dan menggantinya dengan perasaan yang emosinya tidak meledak-ledak. 


Misalnya saja seperti aturan yang diajarkan di Jepang yaitu "Sembunyikan perasaan yang sesungguhnya, apabila itu akan melukai orang yang kau cintai. Gantilah dengan perasaan bohongan, tetapi tidak menyakitkan." 





Aturan ini mengungkapkan emosi semacam itu lebih dari suka dan bagian dari tata krama sosial. Aturan tersebut menentukan bagaimana perasaan kita mempengaruhi orang lain. Mengikuti aturan-aturan ini dengan baik berarti mengoptimalkan pengaruhnya, melaksanakan dengan buruk berarti menimbulkan kekacauan emosi. (Hlm 157)


Otak bagian Amigdala juga mempengaruhi bagaimana kita merespon emosi orang lain. Jika otak yang terus-menerus mengalami ketegangan emosi, menandakan bahwa kita memiliki trauma emosional. 


Hal ini akan menimbulkan kecemasan dan membuat otak kita terus tegang, sehingga emosi yang ditampilkan di depan orang lain justru emosi yang meledak-ledak dan sulit dikendalikan. 




Membaca buku Emotional Intelligence ini membuat saya teringat dengan nasehat Nabi Muhammad SAW yaitu "Janganlah marah, maka bagimu surga." 


Nasihat yang mungkin terdengar sepele, tapi kata "jangan marah" mempengaruhi banyak hal dalam hubungan secara personal dengan orang lain, karena ketika kita marah, emosi kita meluap yang akan mempengaruhi hubungan yang sudah dibangun sejak lama. Yaa... bisa saja, hubungan itu akan selesai dengan sendiri, padahal manusia dibangun dari interaksi tiap hari. Yaa, kan? 





Jika kita kesulitan mengendalikan emosi, maka itu akan menimbulkan bencana yang besar. 🥹


Misalnya saja dalam contoh kasus seperti yang sering kita lihat di berita-berita viral di mana banyak orang yang emosional dalam kondisi terhimpit masalah dan emosinya keluar begitu saja, seperti yang ada di film "Budi Pekerti". 


Di film Budi Pekerti ini digambarkan bahwa emosi yang ditampilkan oleh Bu Prani mempengaruhi kehidupan sosialnya, hingga akhirnya dia dikeluarkan dari pekerjaannya dan keluarganya juga sangat terpengaruh oleh emosi yang ditimbulkan bakal dalam waktu singkat.


Padahal... Marahnya cuma satu menit, itu pun hanya karena rebutan antrian beli makanan. Waduuh 🥲


Nah... bayangkan bagaimana kita memiliki relasi pertemanan dengan seseorang yang emosionalnya tidak stabil atau mudah tersulut emosi. 


Nah... hal-hal kecil ini berpengaruh dalam hubungan sosial yang lebih besar. Yaps... Bisa dalam pengambilan keputusan yang terlalu spontan. 


Misal : saat marah malah melajukan kendaraan dalam kecepatan tinggi dan menabrak orang. Bahaya banget, kan?




Nah, sudah tahu kan kenapa belajar mengelola emosi dan memahami bagaimana Emotional Intelligence bekerja dalam hidup kita bisa mengubah banyak hal? 


Bacalah buku ini dan kamu akan menemukan banyak insight baru tentang Emotional Intelligence dengan pemaparan hasil riset para ahli yang sangat detail. ❤️


Overall, bukunya cocok buat kamu yang lagi cari bacaan tentang seni mengelola emosi dengan baik. 🤩


Selamat membaca ya! 🥰


Makasih buat mas Andi untuk hadiah bukunya. Isi bukunya sangat bermanfaat buatku. 🥹.


Rating buku : 5 🌟

Komentar

Postingan Populer