Cinta yang Mendewasa

Cinta yang Mendewasa

“Jadi, lagi dekat sama siapa sekarang?”, pertanyaan itu meluncur dari mulut seorang sahabat bulan Maret lalu ketika kami bertemu. Saya dan dia bertumbuh seiring waktu, nggak terasa ada banyak hal yang terjadi di kehidupan masing-masing, termasuk dalam urusan kisah cinta. Meski sahabatan saya nggak mau ikut campur urusan seperti ini. Dia tahu saya dulu dekat dengan siapa dan bagaimana kisahnya berakhir.  Saya juga tahu dia dekat dengan siapa dulu.

Waktu dengar kalimat yang pertama keluar selain pertanyaan apa kabar itu, saya cuma ketawa. Ternyata saya bisa ya menertawakan masa lalu. Haha. Padahal dulu tahu rasanya gimana, nangisnya seperti apa. Selepas kisah cinta yang nggak berakhir indah itu saya berhenti untuk mencari. Melihat kembali tujuan awal untuk apa jatuh cinta lagi. Saking lamanya nggak tahu gimana rasanya jatuh cinta lagi, saya sampai ngerasa asing ketika membaca novel cinta-cintaan. Sengaja saya nggak milih novel romance selama beberapa tahun terakhir. Beli, tapi teronggok gitu aja di rak buku sampai masih ada yang bersegel. Beberapa saya baca tapi nggak sampai tamat. Kalaupun baca sampai selesai biasanya saya butuh waktu untuk nangis lama karena ingat sesuatu. 

Soal sahabat saya itu, saya tanya balik. “Kalau kamu?” Dan dia bilang habis patah hati, sekarang lagi dekat dengan orang lain. Wew, saya kaget soalnya saya nggak bisa segampang itu dekat dengan orang usai patah hati yang absurdnya nggak ketulungan itu. Saya makin sering banyak nanya sama teman dan sahabat dekat tentang cinta dan hal-hal yang menyertainya. Termasuk soal gagal mencari dan mencari lagi.

Saya tanya ke seorang sahabat tentang gimana kalau kita milih orang yang ternyata salah. Ternyata seiring waktu sadar kalau keputusan yang diambil salah. Dan sahabat saya bilang, “Whatever will be, will be.” Segala hal yang pastinya akan terjadi pasti akan terjadi. Nggak peduli apakah itu hal yang akhirnya kamu suka atau kamu benci. Dan saya tertegun waktu dia bilang gitu. Sempat lama nggak balas pesannya. Saya bertanya-tanya ke diri sendiri. Apa iya begitu?

Saya juga nanya ke sahabat yang lain, “Apa kita bisa meminta pasangan untuk berubah?” Dan jawabannya adalah nggak. Katanya lebih baik milih orang yang memang sesuai daripada harus berkorban banyak untuk mengubahnya menjadi seperti yang kita inginkan. Banyak perempuan menganggap bahwa suatu ketika saat mereka menikah mereka bisa meminta pasangannya untuk berubah. Tapi itu nggak akan terjadi tanpa kesadaran dari kedua pihak untuk berkorban. Dan apa yang akan terjadi jika hanya salah satunya yang berkorban? Timpang sebelah.

Saya tahu ada orang-orang yang datang dan pergi di kehidupan kita karena memang sudah jalannya. Itu yang sampai sekarang saya masih berusaha untuk ikhlas bahwa saya hanya bagian dari takdir yang bersimpul. Yang mana ternyata ini berhubungan juga dengan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Tapi satu yang pasti mereka datang karena memang ditakdirkan. Tak peduli apakah hal itu termasuk hal-hal yang baik atau buruk.

Saya sempat ngerasa sedih ketika ada bagian dalam diri saya yang belum sepenuhnya ikhlas tentang bagian di masa lalu. Kenapa dulu ada pilihan yang harus diambil yang nggak saya banget. Saya ngerasa jadi orang lain aja. Beda banget. Tapi selepas iitu bertahun-tahun setelahnya saya sadar. Ngapain masih mikirin hal itu lagi. Satu-satunya cara untuk tetap bertumbuh dengan baik adalah melepas yang seharusnya direlakan. Dan bagian itu yang saya baca di The Architecture of Love.

“You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward . It distracts you from what’s in front of you, Ya. Your future. “ (hlm. 237)

Ya, distraksi terbesar ketika ingin membuka kembali hati adalah urusan masa lalu. Kapan bisa ikhlas dan kapan bisa benar-benar melepas yang seharusnya dilepas. Nggak ada yang perlu digenggam erat karena semua yang bukan milik kita memang tak akan pernah menjadi milik kita. Sekuat apa pun usaha yang dilakukan. Jadi saya merasa proses melepas masa lalu itu yang saya butuhkan sekarang. Sekaligus belajar untuk berdamai dengan diri sendiri atas apa yang pernah menjadi kesalahan. Cinta yang mendewasa akan datang dan tepat di saat yang tak terduga. Saat benar-benar siap, bukan jenis cinta yang menggebu.

Selepas obrolan dengan sahabat itu, saya pikir ada baiknya saya nggak lagi melihat ke belakang. Bagaimana pun bentuknya penyesalan yang datang itu, itu udah lewat lama. Ada hal yang lebih membahagiakan lagi di masa depan, menerima hati yang baru dengan perasaan yang jauh lebih lapang. Semoga. 

NB : menulis ini adalah bagian dari cleansing agar saya bisa berdamai dengan diri sendiri. 

Komentar

Postingan Populer